Mengapa saya beralih ke Mac?

IBM PC/AT

Saya mulai mengenal dan “menyentuh” PC 26 tahun yang lalu ketika saya duduk di bangku kelas 3 menjelang lulus SMA. Karena belum bisa punya sendiri, saya biasanya pergi ke mall yang ada display PC, kemudian saya utak-utik di sana. Dan biasanya yang saya lakukan adalah menulis program BASIC dan menjalankannya. Begitu senangnya waktu itu, sampai akhirnya orang tua saya membelikan PC, IBM PC XT compatible. Mengapa disebut compatible? Karena bukan yang asli. Kalau yang asli IBM PC mahal sekali – jadi yang kebeli ya yang bukan asli alias rakitan (aka PC jangkrik). Waktu itu prosesornya masih Intel 8088 dengan sistem operasi PC-DOS versi 3.3. Waktu itu RAM-nya masih 256 KB, belum ada hard disk, masih pakai floppy disk 5.25″, OS dan software aplikasinya masih harus di-load dari floppy disk setiap kali akan digunakan, dan software yang biasa saya pakai waktu itu adalah Wordstar (word processor), Lotus 123 (spreadsheet), dan dBase III (database). Printernya masih dotmatrix, yang kalau lagi “nge-print” bunyinya “kriiik.. kriiik..” lumayan berisik apalagi kalau lagi kerja malam-malam.

Setelah itu, seiring dengan perkembangan sistem operasi, DOS dengan console-based-nya berkembang menjadi Windows – yang waktu itu konsepnya masih Windows adalah program yang bergerak di atas DOS untuk menyediakan fitur GUI –, mulai dari Windows 3.1, Windows 4.0, Windows 2000, Windows XP, Windows Vista, Windows 7, sampai yang sekarang Windows 8.1, seluruhnya tentu saja adalah PC atau PC compatible. Pernah saya mencoba PS/2, yang merupakan sistem operasi berbasis GUI buatan IBM yang konon dibuat dari scratch tidak berbasis DOS. Sistem operasi UNIX juga pernah saya gunakan, walaupun sebatas penggunaan pada waktu kuliah S1. Pada saat itu juga saya mengenal TeX/LaTeX – program pengolah kata yang konon umum digunakan pada dunia science. Mac OS, malah belum pernah saya gunakan sampai dengan 10 tahun yang lalu, itu pun hanya beberapa saat, dan kesan yang saya dapat pun tidak menyenangkan, karena MacBook yang saya coba waktu itu sangat-sangat lambat. Lalu mengapa setelah sekian tahun menggunakan sistem Windows saya berpindah ke Mac?

Sebetulnya saya tidak memiliki masalah dengan Windows eco-system yang diterapkan oleh Microsoft. Namun ada sesuatu yang membuat saya tidak puas dengan Windows, walaupun saya juga tidak bisa mengatakan apa itu. Tapi saya coba tuliskan berikut beberapa yang saya bisa ungkapkan:

  • It’s getting even more and more bloated software. Menurut Wikipedia [link]: “Software bloat is a process whereby successive versions of a computer program become perceptibly slower, use more memory/diskspace or processing power, or have higher hardware requirements than the previous version whilst making only dubious user-perceptible improvements“. Ya saya merasakan hal itu pada sistem Windows. Tidak hanya proses pada saat dijalankan, namun juga pada arsitektur sistem itu sendiri, baik itu pada sistem operasi maupun software lainnya. Untuk melakukan instalasi suatu software dengan kompleksitas yang cukup tinggi seperti Office, Visual Studio, berbagai macam server, memerlukan waktu beberapa menit sampai beberapa puluh menit. Ketergantungan antara satu sistem software dengan yang lainnya pun tinggi, terutama untuk produk server.
  • No native support for UNIX-like console-based command. Untuk generasi yang dari awal sudah menggunakan Windows, mungkin kurang bisa memahami ini. Namun bagi mereka yang pernah menggunakan sistem operasi UNIX atau variannya akan merasa ada yang kurang pada sistem Windows – perintah berbasis console (console-based command). Windows juga memiliki itu, melalui Command Prompt-nya, yang kemudian berkembang menjadi Power Shell, namun tetap tidak bisa mengalahkan power dari UNIX command: mulai dari ragamnya, kemudahannya, sampai pada pengembangannya. Beberapa sistem sudah diupayakan untuk menyediakan fasilitas perintah UNIX untuk bisa dijalankan pada lingkungan Windows, mulai dari Cygwin, GnuWin32, MinGW, Interix, sampai dari Microsoft pun menyediakan subsistem untuk UNIX (bekerja sama dengan Interix), namun karena hanya sebagai subset, tetap saja berbeda dengan aslinya.
  • Ugly Japanese fonts. Bagi yang hanya menggunakan karakter alfabet, mungkin ini juga bukan menjadi masalah. Namun bagi saya yang banyak menggunakan bahasa Jepang, ini menjadi masalah yang sangat besar. Mulai versi Windows XP, dengan teknologi ClearType-nya, Microsoft telah membuat huruf-huruf yang ditampilkan pada layar monitor khususnya LCD menjadi lebih nyaman dilihat oleh mata. Namun manfaat teknologi ini tidak terasa sampai ke karakter non-alafabet. Huruf Jepang standarnya ditampilkan tanpa teknologi itu, yang membuat tidak hanya hurufnya menjadi kelihatan jelek, juga ketika ditampikan bersama huruf alfabet menjadi kelihatan timpang.
  • … Dan mungkin masih ada hal-hal kecil lain yang membuat saya merasa kurang nyaman di Windows.

Untuk mengatasi – atau lebih tepat disebut menghindari? – kekurangan itu, saya telah beberapa kali mencoba, yang tentu saja sebatas kemampuan saya, yaitu dengan cara mencoba sistem operasi Linux yang dengan variasi distronya yang beragam telah memiliki user interface yang tidak kalah dengan Windows. Saya telah mencoba beberapa distro namun saya belum menemukan yang sreg yang bisa membuat saya beralih dari Windows. Selain itu, dengan keterbatasan spek PC laptop yang saya miliki, menjadikan Linux, yang seharusnya lebih ringan dari Windows, menjadi sama saja dengan Windows. Sampai kemudian saya dipertemukan dengan iPhone (waktu itu 4s dan tidak lama kemudian 5s), dan tidak lama kemudian sampai saya bertemu dengan Mac saya yang pertama, MacBook Pro with Retina Display.

Sebelum saya cerita apa kelebihan atau mengapa saya beralih ke Mac, mungkin ada baiknya saya cerita tentang sejarah atau seberapa jauh saya mengenal Mac. Seperti yang telah saya ceritakan di atas, saya memang tidak banyak mengenal Mac. Saya mengenal Mac hanya dari foto dan penjelasan yang ada dalam buku atau dari film-film layar lebar atau televisi. Selain itu, hanya pernah menyentuh beberapa saat saja. Namun ada sesuatu yang membuat saya selalu ingin (mencoba) memilikinya. Ada sesuatu yang menarik saya di sana. Mungkin bukan Mac saja tapi produk Apple secara keseluruhan. Saya pernah punya iPod nano, produk Apple music player, yang walaupun saya puas dengan user-interface-nya, saya kurang puas dengan kualitas suaranya. Dan saya juga tidak terlalu memantau perkembangan sampai kepada teknologi yang digunakannya. Namun tetap ada sesuatu yang membuat saya ingin memilikinya – sampai kemudian saya dipertemukan dengan iPhone 4s.

MacBook Pro with Retina Display 13

Pertemuan saya dengan iPhone 4s menjadi salah satu momen yang penting dalam perjalanan hidup saya berkecimpung di dunia IT. Pada saat itu lah saya melihat dan merasakan sendiri dan mengakui teknologi Apple. Insistence – atau dalam bahasa Jepang 拘り (kodawari) – yang tidak tanggung-tanggung, membuat produk Apple memiliki kualitas dan user experience yang sangat tinggi, walaupun konsekuensinya menjadikannya sangat mahal.

Hal yang sama juga berlaku untuk Mac PC dan MacBook. MacBook adalah produk PC laptop dari Apple dengan spesifikasinya yang tidak tanggung-tanggung didukung sistem operasinya OS X dan sistem softwarenya, menjadikannya sebuah workstation yang memberikan user experience yang memuaskan. Walaupun ada beberapa hal kecil yang tidak se-powerful Windows, minimal, apa yang rasa tidak puas dengan sistem Windows terakomodir dengan MacBook Pro with Retina Display 13″ yang saya gunakan sekarang. Dan saya merasa sangat puas dengan pilihan saya.